ShareFB

"Selamat Datang...di syahrum27.blogspot.com...Selamat Datang...di syahrum27.blogspot.com...Selamat Datang...di syahrum27.blogspot.com...Selamat Datang...di syahrum27.blogspot.com...Selamat Datang...di syahrum27.blogspot.com...Selamat Datang...di syahrum27.blogspot.com...Selamat Datang...di syahrum27.blogspot.com...Selamat Datang...di syahrum27.blogspot.com...Selamat Datang...di syahrum27.blogspot.com...elamat Datang...di syahrum27.blogspot.com..."

Kamis, 19 November 2009

Pro kontra UIN dan IAIN

Dosen tetap di fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Seorang dosen di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, menceritakan, bagaimana pemahaman relativisme berkembang subur di kampus seperti UIN dan IAIN.

Banyak yang berharap dari rahim Universitas Islam Negeri (UIN), atau dulu dikenal dengan Institut Agama Islam Negeri (IAIN), akan lahir ulama, cendekiawan Muslim, atau dai yang akan membina umat.

Namun, sebagian orang menilai justru sebaliknya. Di kampus inilah paham liberalisme dan relativisme berkembang-biak. Benarkah?

Akhir Desember 2007 lalu, Achmad Warid Khan , seorang dosen tetap di Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga , Yogyakarta, mengirim sebuah opini ke kantor redaksi Hidayatullah tentang "penggerogotan" agama di kampus Islam itu.

Ia menjelaskan panjang lebar bagaima pemahaman rasional dan relativisme berkembang begitu subur di kampus-kampus UIN dan IAIN, khususnya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Dalam kesempatan berikutnya, redaksi Hidayatullah sempat berbincang-bincang dengan suami Siti Fatimah, berusia 40 tahun, ini. Perlu diketahui, Warid telah menjadi staf pengajar di Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga semenjak tahun 1980 hingga hari ini.

Pria asal Madura ini sempat kehilangan kesempatan menyelesaikan desertasinya di Universitas Al-Azhar, Kairo, gara-gara pendarahan otak. Ia koma selama 40 hari, bahkan hampir saja akan dimakamkan.

Setelah sembuh, ia banyak berubah. ”Saya segera sadar akan kekeliruan saya selama ini, " ujarnya.

Sebelumnya, ia masih suka bolong-bolong dalam beribadah. Sang istri menambahkan, sebelum sakit si suami seolah berperilaku layaknya orang tak lulus sekolah agama.

Berikut perbincangan Cholis Akbar dari Majalah Suara Hidayatullah dengan Achmad Warid Khan.

WAWANCARA DENGAN ACHMAD WARID KHAN
Apa latar belakang Anda mengirim artikel tentang kondisi kampus UIN ke redaksi majalah kami?
Saya mengirimkan artikel itu karena saya merasa ajaran Islam telah kehilangan ruhnya di tangan para intelektual UIN.

Apa posisi Anda di UIN?
Saya masih dosen tetap di Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Jadi, tulisan tersebut merupakan pengakuan saya sebagai dosen UIN sendiri yang telah merasakan bahwa ilmu agama yang saya peroleh dari UIN bukan menambah baik ibadah dan keimanan saya, tapi justru sebaliknya.

Apa maksud Anda?
Saya merasakan ibadah saya dan keimanan saya justru bertambah tidak karu-karuan (tidak baik).

Lho, IAIN dan UIN kan perguruan tinggi Islam. Apakah tidak malah sebaliknya makin bertambah baik?
Seharusnya (memang begitu). Tapi, ini terjadi karena dalam memahami ajaran Islam di UIN, umumnya menggunakan sumber-sumber dari Barat.

Maaf, dan itu, umumnya ditulis oleh para orientalis dan bukan merujuk pada Al-Quran sendiri. Metode ilmiah itulah yang terkesan oleh saya telah menggerogoti Islam.

Mungkin, di sini letak kesalahannya. Saya pernah berfikir, apa memahami agama kita (Islam) perlu memakai teori dari Barat? Tidak cukupkah kita kembali saja pada Al-Quran sebagai rujukan utama?

Maaf, ini pengakuan pribadi saya. Tentu saja, opini saya ini bersifat subyektif.

Bukankah metode atau pendekatan itu bisa diambil dari mana saja, bahkan dari Barat sekalipun?
Ya, benar. Tapi, kalau urusan agama, terutama masalah keimanan, apa tepat? Maaf, sering saya jumpai karya-karya ilmiah para intelektual di UIN dalam menjelaskan agama dan dalam memahami agama selalu menggunakan teori-teori Barat. Entah sosiologi, psikologi, metode filisofis, fenomenologi, dan sebagainya.

Menurut saya, diakui atau tidak, efeknya akan menjauhkan ibadah dan keimanan kita. Padahal, harus diingat firman Allah SWT yang artinya: "Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk ber-ibadah pada-Ku."

Jadi, seharusnya setiap motode yang kita pakai, output-nya berorientasi pengabdian kepada Allah SWT. Jujur lho, banyak intelektual UIN lebih bangga membuat karya ilmiah tentang Islam menggunakan referensi teori-teori Barat. Pakai bahasa Inggris lagi.

Referensi Barat memang bisa ditulis oleh orang Islam. Tapi yang harus diwaspadai, jangan-jangan pikiran-pikiran mereka telah terkontaminasi oleh pikiran-pikiran orientalis tentang agama Islam ini.

Seharusnya mereka bangga kalau memahami atau mempelajari Islam mereferensi pada Al-Quran, as-Sunnah, dan kitab-kitab yang banyak dikarang para ulama Salaf kita.

Maaf, nanti saya dikira berkhutbah. Saya sekadar menyegarkan kembali kesadaran kita terhadap fungsi Kitab Suci kita.

Seberapa jauh fenomena seperti itu di UIN?
Wah bagaimana ya? Baru-baru ini pihak fakultas meloloskan skripsi berjudul Menggugat Otensitas Wahyu Tuhan karya Aksin Wijaya. Yang lebih mengecewakan, skripsi itu diberi kata pengantar oleh teman saya sendiri, Dr Phil. M. Nur Kholis Setiawan (Dr Nur Kholis Setiawan adalah dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, penulis buku "Al-Quran Kitab Sastra Terbesar" yang juga murid Dr Nasr Hamid Abuzayd, tokoh liberal yang dihukum murtad para ulama Mesir).

Kasus-kasus seperti ini tidak sedikit. Orang-orang seperti ini, yang seharunya ditolak menjadi sarjana Islam dan jelas-jelas melecehkan Al-Quran, justru diloloskan menjadi sarjana. Anda bisa bayangkan, berapa orang dalam setiap tahun yang lulus dengan keadaan seperti itu?

Satu hal lagi yang tidak kalah penting. Saya sering menjumpai di kampus UIN, agama ini hanya diwacanakan dan maraknya memahami agama hanya dengan akal. Wajar saja jika lahir orang-orang yang memahami agama tapi tak mengamalkannya.

Mengapa kita tidak melihat sikap Sayyidina `Umar (dalam sebuah riwayat) ketika ditanya, "Mengapa tuan mencium batu Hajar Aswad?” Beliau menjawab "Jika tidak karena Rasulullah SAW mencium Hajar Aswad, saya tidak mencium Hajar Aswad."

Seharunya, perilaku kita sebagaimana Sayyidina `Umar ini dalam cara beragama yang benar. Yakni, sami' na wa atha'na (Kami mendengar, kami menjalankan).

Dalam memahami Islam, ada hal yang tidak rasional yang jelas tak bisa dipahami menggunakan logika akal. Tapi, umumnya, di kampus UIN kita harus mendahulukan peran akal. Sementara kemampuan akal kita sangat terbatas. Akibatnya, kita jadi suka berwacana dan berdebat. Padahal, dalam beragama kita kering spritualitas.

Anda menyebut ruh agama telah hilang di UIN/IAIN? Apa maksudnya?
Ilmu agama kehilangan nilai normatifnya. Padahal, nilai normatif itulah ruhnya agama. Maksud saya, nilai normatif di mana dalam ajaran-ajaran Islam itu mengandung tujuan untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Dan dengan ajaran agama itu pula seharusnya makin meningkatkan keimanan dan ibadah kita.

Tapi ternyata ruh itu banyak yang hilang. Orang yang kuliah di UIN atau IAIN seharusnya makin baik dan beriman. Tapi sebaliknya, menjadi nggak karu-karuan (tidak baik). UIN tidak membuat saya semakin dekat dengan Tuhan, tapi malah membuat saya semakin jauh dari Tuhan.

Kapan Anda menyadari itu?
Cukup lama. Terutama ketika Allah SWT memberikan saya musibah sakit. Di saat saya sembuh, saya sering merenung berlama-lama usai shalat tahajjud. Ada somethink wrong (sesuatu yang salah) dalam tradisi keilmuan di UIN. Seharusnya semakin tinggi pemahaman saya terhadap agama, semakin meningkat pula keimaman saya. Tapi ini kok justru sebaliknya.

Lantas, apa tujuan Anda mengungkapkan ini?
Mudah-mudahan latar belakang ini dijadikan pertimbangan dan bisa memberikan penyadaran pada teman-teman kami di UIN Yogyakarta (khususnya), bahwa apa yang mereka lakukan dalam memahami agama dengan cara seperti itu kurang tepat.

Pernyataan ini saya lakukan sebagai otokritik terhadap kampus saya sendiri, tempat saya mengabdi sebagai staf pengajar selama bertahun-tahun. Ini merupakan hasil perenungan saya dalam waktu yang sangat lama. Tapi tentu saja karena ini pengakuan pribadi, maka bersifat subyektif.

Tapi kan tak semua produk UIN/IAIN sejelek itu?
Mungkin benar. Tapi realitasnya, harus diakui dan ini harus menjadi kesadaran bersama bagi civitas akademika UIN bahwa moralitas di sana jauh dibanding perguruan tinggi umum yang tidak berlabelkan Islam. Ini memang sebuah ironi.

Satu lagi, banyak produk pemikiran UIN menjadi kontroversi atau pro-kontra di masyarakat. Dengan kata lain, banyak produk yang mengganggu ketenangan hidup beragama masyarakat.

Mengapa kita tidak banyak berintrospeksi diri? Ada apa gerangan dengan kondisi kita? Mengapa hasil pemikiran orang-orang UIN sering menggelisahkan masyarakat? Mengapa kita tidak berfikir melahirkan gagasan dan produk yang bisa menjadikan masyarakat lebih tenang beribadah dan lebih baik keimanannya?

Secara pribadi, saya lebih bangga melihat sarjana UIN atau IAIN menjadi ahli-ahli ibadah dibanding ahli-ahli berdebat. Saya bangga kalau almamater saya melahirkan cendikiawan-cendikiawan yang bisa mengomandani masyarakat sehingga istiqama­h shalat tahajjudnya, atau puasa Senin-Kamisnya.

Tapi, mungkin pikiran saya ini tidaklah terlalu laku di UIN. [diambil dari Majalah Suara Hidayatullah, edisi Pebruari 2008/www.hidayatullah.com]